Senin, 07 Juni 2010

Kisah Sekeping Hati


Ternyata saya tidak sendiri. Ada satu dua orang lain yang memiliki kemiripan jalan hidup juga dengan saya. bahkan tiga, empat, lima orang. Selebihnya saya tidak tahu persis ceritanya. Yang pasti, beberapa teman dekat saya, ternyata juga mengalaminya. Ajaib!
Benar-benar ajaib. Barangkali memang takdir Nya yang telah menuntun jalan hidup masing-masing orang. Dan kita sebagai pelaku-nya, harus siap dan menerima dengan lapang dada terhadap apa saja yang menimpa diri kita. Entah itu nasib sukses-gagal, bahagia-sedih, sehat-sakit, kaya-miskin, termasuk diterima-ataupun ditolak. Apa? Cinta…
Yups, terkadang memang harus seperti itu. Belum tentu jika tida diterima, itu berarti kiamat impian hidup kita. Tidak! Katakan tidak sekali lagi.Tidak!
Yup, banyak orang yang mengalami kisah serupa, tapi tak sama dalam cara menyikapinya. Inilah yang membedakan antara jalan hidup satu orang dengan orang lainnya. Padahal alur ceritanya sama. Tapi kenapa berakhir berbeda?
Ada satu orang yang berakhir dengan sedih, pilu, bahkan mungkin ter-amat menyakitkan. Tapi tak sedikit pula (kok) yang berakhir dengan manis, gembira, tertawa, bahagia. Bukan hanya milik seorang saja. Bahkan dua pelaku yang baru saja terlibat perasaan emosional, tersita peluh pemikiran, sampai hati menjadi terluka-luka, tapi tetap saja dengan cepat ia memperbaikinya. Menata kembali menjadi sel-sel hidup yang bahkan menjadi lebih hidup.
Coba tanyakan saja pada yang pernah mengalaminya. Atau malah termasuk anda salah satu yang mengalaminya?? Hmm, sepertiny memang tidak menarik jika kisah roman kita berjalan datar-datar saja. Harus ada asam-garamnya. Harus ada pahit-manisnya. Biar lengkap semua pelajaran yang kita terima, sehingga kita bisa menjadi lebih dewasa dalam menghadapi semua persoalan hidup yang terus melaju dengan cepatnya. Tanpa kita sadar akan akhir dari semua; pertanggung jawaban atas semua tindakan kita padaNya….

(terinsipirasi dari kisah Abah, Ruri,Bachrun, dan saya sendiri… :)

Pesona Kematangan

Posted in Manajemen Cinta dengan kaitan (tags) , , , , , , ,

Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa dipahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.

Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi Sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta sesungguhnya dan selalu mengejewantah pada kematangan kepribadian kita. Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.

Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.

Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa lagi yang bisa menggantikan Khadijah?” tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan serta kecerdasan?

Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Di sini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di pangkuan Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi kenabiannya.

Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” Cintanya pada Aisyah adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa ‘menahan’ diri kalau bertemu Aisyah.” Tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.

“Mengayuh Bahtera Surgawi: Ikhtiar Menggapai Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warrahmah”

Katakan pada cinta;

ia adalah anugrahNya

yang harus dipelihara…

Katakan pada cinta;

ia kan slalu penuh warna

saat kita mengusahakannya…

Katakan pada cinta;

ia akan semakin merona

kala suci niat semula…

Membangun sebuah keluarga, ibarat membangun sebuah bahtera yang akan mengarungi samudra nan luas. Perlu bekal yang mantap dan lengkap, baik fisik, pemikiran, materi, maupun ruhani, Karena akan ada banyak sekali rintangan maupun ujian yang harus dihadapi, ibarat gelombang yang akan terus menggoyang bahtera. Tidak hanya itu, badai dan angin pun tidak luput menerpa. Bahkan kilatan halilintar yang menggelegar berpadu dengan dentuman ombak, akan senantiasa mewarnai hari-harinya. Itulah mengapa diperlukan adanya persiapan dan kesiapan yang ‘sempurna’.

Proses menuju bangunan keluarga harapan, menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini mengingat tujuan dibentuknya sebuah keluarga sangat-lah mulia. Coba kita telisik kembali naskah-naskah lama menyebutkan bahwa :

1. Keluarga merupakan bangunan terkecil dari sebuah tatanan peradaban yang besar. Ciri paling mendasar dari sebuah tatanan ialah adanya pemimpin dan yang dipimpin. Ketika seseorang masih sendiri, maka belum bisa dikatakan sebagai sebuah tatanan jama’ah. Tetapi ketika sudah menikah, maka suami menjadi qowwam (penanggung-jawab) yang harus diikuti selama tidak melanggar aturan syar’i sedangkan istri menjadi pendamping (partner) suami dalam melakukan gerak langkahnya. Ketika lahir generasi pewaris, maka peran seorang istri menjadi bertambah, yaitu sebagai madrasah pertama yang berkewajiban mendidik serta membentuknya hingga menjadi generasi harapan, tumpuan ummat di masa yang akan datang.

2. Keluarga menjadi satu pembuktian adanya status sosial yang diakui oleh masyarakat. Dengan diakuinya status tersebut, maka peran-peran sosial yang ada dimasyarakat akan dapat diraihnya. Dengan kata lain, kontribusi terhadap perluasan dakwah menjadi lebih jelas dan nyata.

3. Keluarga menjadi penyempurna keimanan (aqidah) seorang mukmin. Banyak hal yang terkait dengan ibadah, baik yang wajib maupun sunnah yang tidak sempurna ketika seseorang belum berkeluarga. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya.” (HR. Baihaqi).

Mengingat pentingnya pembentukan sebuah keluarga muslim tersebut, maka menjadi satu hal yang perlu diprioritaskan, terutama oleh para pemuda yang masih belum memantapkan dirinya, agar segera lekas diri menyambutnya.

Wahai

Jiwa yang lelah, …
Tuk menapaki jalan susah
Saat ruang hati mulai gelisah…
Tuk memahami makna resah;
sayap yang setengah
mengepak di langit yang basah

Maka kan segera jelang…
saat sejenak bersandar bagi pejuang badar…
saat sejenak berlabuh bagi pejuang teguh

Mujahid,

biadadarimu jemputlah…
Dialah separuh sayap…
separuh pemakna resah…
pun separuh jiwa yang lelah..

perjanjian teguh itu akan menangkupkan

jiwamu dan jiwanya
Namun jangan terlena mujahid..
Ini awal derap panjang..
bawalah dia bersama

lewat perjuangan menuju cintaNya

disadur dari : http://tentang-pernikahan.com

Nah, untuk membangun keluarga yang samara (sakinah, mawaddah, warrahmah) itu, maka diperlukan kesabaran dan kegigihan baik dalam pra-nikah, saat menikah, maupun pasca-nikah. Ketiga tahapan ini sama pentingnya, sehingga perlu diupayakan sebaik mungkin oleh setiap muslim.

Pertama tahapan pra-nikah. Pada tahapan ini, masalah paling penting ialah persoalan niat. Sebagaimana dalam persoalan ibadah, posisi niat dalam menuju pintu gerbang pernikahan pun menempati urutan pertama. Bahkan jika dihitung nilai prosentasenya, boleh dibilang mencapai 80 % dari persiapan secara keseluruhan. Kenapa demikian? Banyak orang meniatkan untuk menikah sekedar untuk memenuhi kebutuhan jasmani-nya (gharizatun nau’/naluri seksual) semata. Ada juga yang menikah karena tertarik dengan janji Allah swt yang akan mencukupkan rizki-nya dengan menikah. Atau lebih sederhana lagi, ada kawan menikah hanya karena merasa terprovokasi oleh adik tingkatnya yang lebih dahulu berani mengambil satu keputusan besar itu. Nah, jika motivasi untuk menikah hanya sebatas itu, maka nantinya yang akan diperoleh pun sebatas itu juga. Disinilah letak pentingnya niat.

Setelah niat itu dibangun se-ikhlas mungkin, maka tahap selanjutnya ialah memantapkan tekad. Membulatkan niat itu sendiri. Seringkali ketika niat itu sudah ada, namun setelah melihat kenyataan diri masih banyak terdapat kekurangan. Terutama persoalan finansial. Ini biasanya yang membuat para ikhwan harus berpikir dua kali untuk melangkah mengambil keputusan besar. Kalaupun kesiapan ekonomi sudah ada, persoalan kecocokan juga menjadi bab tersendiri yang menarik untuk dibahas. Mulai dari karakter ikhwan/akhwat yang begini, begitu…. sampai pada rupa luar yang tak semenarik dengan yang dibayangkan. Na’udzubillah… Jika persoalan ini yang mengemuka, maka baiknya dikembalikan pada pesan sangat bijak dari Rasulullah saw : “Sesungguhnya perempuan itu dinikahi karena 4 hal, yaitu agamanya, kedudukannya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang paling baik agamanya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Tahapan selanjutnya ialah proses menikah. Hal terpenting dalam melakukan akad nikah ialah kemudahan serta kesederhanaan dalam menggelar acara walimatul ursy’. Dalam satu hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa ketika seseorang melangsungkan akad nikah, maka disunnahkan untuk menggelar ‘pesta’ dan memberitahukan kepada karib-kerabat dan juga sanak-famili. “Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim). Perlu diperhatikan juga dalam melangsungkan perayaan ini ialah harus dihindarkannya dari proses ikhtilat (campur-baur) dari para tamu ikhwan dengan akhwat, serta adanya proses tabarujj (berhias) yang berlebihan. Hal ini mengingat seringnya benturan dengan adat dan tradisi masing-masing wilayah, yang sering mengaburkan nilai Islam itu sendiri. Oleh karena itu, sangat besar manfaatnya apabila dalam melangsungkan akad nikah sekaligus dijadikan juga sebagai sarana untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam. Baik itu kesederhanaan, kemudahan, maupun cara-cara pergaulan dengan non muhrim.

Berikutnya ialah tahapan pasca-nikah atau eksekusi (pengaplikasian) dari cita-cita keluarga idaman yang sakinah, mawaddah, warrahmah itu sendiri. Sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam QS 30 : 21 “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS Ar-Ruum : 21)

Untuk mewujudkan perasaan tentram (sakinah) kasih dan sayang (mawaddah warrahmah), tentu tidak datang dengan sendirinya, tanpa harus diupayakan dan diusahakan. Sedikitnya, ada delapan (8) hal yang menjadi kunci penting dalam mewujudkan perasaan ‘samara’ ini, Delapan hal itu ialah :

Pertama : Harus ada penetapan cinta dalam diri suami isteri. Cinta yang mekar diawal pernikahan hendaknya tetap bersemi dalam perjalanan selanjutnya. Jangan biarkan cinta brguguran. Jangan buang bahasa cinta dalam kamus pergaulan suami isteri. Sikap mesra dan romantis yang biasanya bertaburan pada awal pernikahan hendaknya dapat dipertahankan. Tidak ada istilah sudah tua untuk mengekspressikan rasa cinta dengan mengatakan, mencium, memeluk atau bersikap manis. Bukankah Rasulullah s.a.w. senantiasa menunjukkan rasa cintanya pada isteri dan anak-anaknya dengan mencium, memeluk, bermain-main, dan bersenda gurau. “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Al Ahadits Ash Shahihah dalam Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245).

Kedua : Harus dikembangkan rasa saling pengertian dan saling percaya. Sikap ini perlu dibangun sejak awal memutuskan untuk membina rumah tangga. Adanya penerimaan secara penuh terhadap kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak, menjadi nilai lebih bagi pasangannya. Jika sikap penerimaan ini telah dibangun, maka dengan sendirinya akan muncul rasa tenang dari kedua belah pihak. Suami merasa tenang dengan istrinya, karena sang istri tidak menuntut sesuatu diluar batas kemampuan suami. Sebaliknya, seorang istri juga merasa tenang terhadap suaminya, karena telah tumbuh kepercayaan dari sang suami.

Ketiga : Harus dikembangkan sistem kerja sama yang benar, harmonis dan seimbang, disertai keinginan untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

Keempat : Harus dipikirkan pola komunikasi yang sehat dan efektif, terlebih bila banyak kesibukan dan tanggung jawab lain diluar rumah tangga. Adalah tidak sehat bila isteri merasa tertekan dengan gaya bossy sang suami atau sebaliknya suami merasa isteri tidak mengindahkannya.

Kelima : Harus ada upaya untuk menyelesaikan problem-problem rumah tangga dengan sikap dewasa dan proporsional. Termasuk didalamnya masalah perasaan, anak, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya. Masalah sekecil apapun harus tuntas. Adalah kebiasaan yang salah, namun banyak terjadi, menganggap selesainya masalah dengan berlalunya waktu atau mendiamkannya.

Keenam : Adanya perhatian terhadap kesehatan hubungan seksual suami isteri. Adalah keliru bila menganggap masalah seksual sebagai hal tabu yang tak patut dibicarakan dan dipermasalahkan. Bukankah Allah s.w.t. memberikan hajat seksual ini sebagai kebutuhan fitrah yang tak mungkin ditinggalkan? Sikap realistis dan proporsional kembali diperlukan dalam menyelesaikan masalah ini.

Ketujuh : Adanya perhatian serius terhadap pendidikan anak. Suami memiliki kewajiban untuk mendidik istrinya dalam mengembangkan berbagai potensi kebaikan. Isyarat peran suami sebagai pendidik disampaikan dalam ayat: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS at-Tahrim: 6). Sedangkan istri dapat memposisikan diri sebagai mitra dan sebagai pembelajar dalam interaksinya dengan suami. Peran istri harus dapat mendukung perjuangan suami, berdialog, memberikan saran-saran dan memiliki sikap ingin tahu (curiousity) dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Peran mendidik untuk para istri tertuang pada ayat: “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Melihat”. (QS al-Ahzab: 34)

Kedelapan : Sedapat mungkin menghindari adanya intervensi pihak lain dalam urusan internal rumah tangga, baik dalam masalah ekonomi, pendidikan anak, ataupun masalah kebijakan rumah tangga. Ini dapat terjadi manakala kemandirian dan tidak menunjukkan sikap ketergantungan telah diterapkan sejak awal.

Demikian kurang lebih tulisan singkat terkait dengan bagaimana membentuk keluarga yang bahagia-sejahtera menurut ajaran Islam. Semoga dengan tulisan ini dapat memotivasi dan mengingatkan kita semua akan pentingnya perhatian terhadap bagunan sebuah keluarga.

Referensi :

- Mustafa, Adi J, 2005, Konsep MESRA dalam Membina Keluarga Islami, www.eramuslim.com

- http://www.geocities.com/kibar_uk/akhwat/usrah/rumahtanggaidaman.html


Cinta Allah

Sepuluh Resep Menggapai Cinta Allah Ta?ala

Cintailah Allah dan berusahalah untuk menggapai cintaNya. Inilah beberapa resep yang menyebabkan seseorang mencintai Allah Ta?ala :

- Membaca Al-Qur?an dengan tadabbur dan memahaminya dengan baik.

- Mendekatkan diri kepada Allah Ta?ala dengan shalat sunat setelah mendahulukan shalat wajib.

- Selalu dzikirullah (mengingat Allah) dalam segala kondisi dengan hati, lisan dan perbuatan.

- Mengutamakan kehendak Allah di saat berbenturan dengan kehendak hawa nafsu.

- Menanamkan dalam hati nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta?ala dan memahami maknanya.

- Memperhatikan karunia dan kebaikan Allah kepada kita.

- Menundukkan hati dan diri ke haribaan Allah.

- Menyendiri untuk beribadah kepada Allah, bermunajat dan membaca kitab suciNya di waktu malam saat orang lelap tidur.

- Bergaul dan berkumpul bersama orang-orang shaleh, mengambil hikmah dan ilmu dari mereka.

- Menjauhkan sebab-sebab yang dapat menjauhkan kita daripada Allah.