Senin, 07 Juni 2010

“Mengayuh Bahtera Surgawi: Ikhtiar Menggapai Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warrahmah”

Katakan pada cinta;

ia adalah anugrahNya

yang harus dipelihara…

Katakan pada cinta;

ia kan slalu penuh warna

saat kita mengusahakannya…

Katakan pada cinta;

ia akan semakin merona

kala suci niat semula…

Membangun sebuah keluarga, ibarat membangun sebuah bahtera yang akan mengarungi samudra nan luas. Perlu bekal yang mantap dan lengkap, baik fisik, pemikiran, materi, maupun ruhani, Karena akan ada banyak sekali rintangan maupun ujian yang harus dihadapi, ibarat gelombang yang akan terus menggoyang bahtera. Tidak hanya itu, badai dan angin pun tidak luput menerpa. Bahkan kilatan halilintar yang menggelegar berpadu dengan dentuman ombak, akan senantiasa mewarnai hari-harinya. Itulah mengapa diperlukan adanya persiapan dan kesiapan yang ‘sempurna’.

Proses menuju bangunan keluarga harapan, menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini mengingat tujuan dibentuknya sebuah keluarga sangat-lah mulia. Coba kita telisik kembali naskah-naskah lama menyebutkan bahwa :

1. Keluarga merupakan bangunan terkecil dari sebuah tatanan peradaban yang besar. Ciri paling mendasar dari sebuah tatanan ialah adanya pemimpin dan yang dipimpin. Ketika seseorang masih sendiri, maka belum bisa dikatakan sebagai sebuah tatanan jama’ah. Tetapi ketika sudah menikah, maka suami menjadi qowwam (penanggung-jawab) yang harus diikuti selama tidak melanggar aturan syar’i sedangkan istri menjadi pendamping (partner) suami dalam melakukan gerak langkahnya. Ketika lahir generasi pewaris, maka peran seorang istri menjadi bertambah, yaitu sebagai madrasah pertama yang berkewajiban mendidik serta membentuknya hingga menjadi generasi harapan, tumpuan ummat di masa yang akan datang.

2. Keluarga menjadi satu pembuktian adanya status sosial yang diakui oleh masyarakat. Dengan diakuinya status tersebut, maka peran-peran sosial yang ada dimasyarakat akan dapat diraihnya. Dengan kata lain, kontribusi terhadap perluasan dakwah menjadi lebih jelas dan nyata.

3. Keluarga menjadi penyempurna keimanan (aqidah) seorang mukmin. Banyak hal yang terkait dengan ibadah, baik yang wajib maupun sunnah yang tidak sempurna ketika seseorang belum berkeluarga. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya.” (HR. Baihaqi).

Mengingat pentingnya pembentukan sebuah keluarga muslim tersebut, maka menjadi satu hal yang perlu diprioritaskan, terutama oleh para pemuda yang masih belum memantapkan dirinya, agar segera lekas diri menyambutnya.

Wahai

Jiwa yang lelah, …
Tuk menapaki jalan susah
Saat ruang hati mulai gelisah…
Tuk memahami makna resah;
sayap yang setengah
mengepak di langit yang basah

Maka kan segera jelang…
saat sejenak bersandar bagi pejuang badar…
saat sejenak berlabuh bagi pejuang teguh

Mujahid,

biadadarimu jemputlah…
Dialah separuh sayap…
separuh pemakna resah…
pun separuh jiwa yang lelah..

perjanjian teguh itu akan menangkupkan

jiwamu dan jiwanya
Namun jangan terlena mujahid..
Ini awal derap panjang..
bawalah dia bersama

lewat perjuangan menuju cintaNya

disadur dari : http://tentang-pernikahan.com

Nah, untuk membangun keluarga yang samara (sakinah, mawaddah, warrahmah) itu, maka diperlukan kesabaran dan kegigihan baik dalam pra-nikah, saat menikah, maupun pasca-nikah. Ketiga tahapan ini sama pentingnya, sehingga perlu diupayakan sebaik mungkin oleh setiap muslim.

Pertama tahapan pra-nikah. Pada tahapan ini, masalah paling penting ialah persoalan niat. Sebagaimana dalam persoalan ibadah, posisi niat dalam menuju pintu gerbang pernikahan pun menempati urutan pertama. Bahkan jika dihitung nilai prosentasenya, boleh dibilang mencapai 80 % dari persiapan secara keseluruhan. Kenapa demikian? Banyak orang meniatkan untuk menikah sekedar untuk memenuhi kebutuhan jasmani-nya (gharizatun nau’/naluri seksual) semata. Ada juga yang menikah karena tertarik dengan janji Allah swt yang akan mencukupkan rizki-nya dengan menikah. Atau lebih sederhana lagi, ada kawan menikah hanya karena merasa terprovokasi oleh adik tingkatnya yang lebih dahulu berani mengambil satu keputusan besar itu. Nah, jika motivasi untuk menikah hanya sebatas itu, maka nantinya yang akan diperoleh pun sebatas itu juga. Disinilah letak pentingnya niat.

Setelah niat itu dibangun se-ikhlas mungkin, maka tahap selanjutnya ialah memantapkan tekad. Membulatkan niat itu sendiri. Seringkali ketika niat itu sudah ada, namun setelah melihat kenyataan diri masih banyak terdapat kekurangan. Terutama persoalan finansial. Ini biasanya yang membuat para ikhwan harus berpikir dua kali untuk melangkah mengambil keputusan besar. Kalaupun kesiapan ekonomi sudah ada, persoalan kecocokan juga menjadi bab tersendiri yang menarik untuk dibahas. Mulai dari karakter ikhwan/akhwat yang begini, begitu…. sampai pada rupa luar yang tak semenarik dengan yang dibayangkan. Na’udzubillah… Jika persoalan ini yang mengemuka, maka baiknya dikembalikan pada pesan sangat bijak dari Rasulullah saw : “Sesungguhnya perempuan itu dinikahi karena 4 hal, yaitu agamanya, kedudukannya, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang paling baik agamanya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Tahapan selanjutnya ialah proses menikah. Hal terpenting dalam melakukan akad nikah ialah kemudahan serta kesederhanaan dalam menggelar acara walimatul ursy’. Dalam satu hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa ketika seseorang melangsungkan akad nikah, maka disunnahkan untuk menggelar ‘pesta’ dan memberitahukan kepada karib-kerabat dan juga sanak-famili. “Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim). Perlu diperhatikan juga dalam melangsungkan perayaan ini ialah harus dihindarkannya dari proses ikhtilat (campur-baur) dari para tamu ikhwan dengan akhwat, serta adanya proses tabarujj (berhias) yang berlebihan. Hal ini mengingat seringnya benturan dengan adat dan tradisi masing-masing wilayah, yang sering mengaburkan nilai Islam itu sendiri. Oleh karena itu, sangat besar manfaatnya apabila dalam melangsungkan akad nikah sekaligus dijadikan juga sebagai sarana untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam. Baik itu kesederhanaan, kemudahan, maupun cara-cara pergaulan dengan non muhrim.

Berikutnya ialah tahapan pasca-nikah atau eksekusi (pengaplikasian) dari cita-cita keluarga idaman yang sakinah, mawaddah, warrahmah itu sendiri. Sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam QS 30 : 21 “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS Ar-Ruum : 21)

Untuk mewujudkan perasaan tentram (sakinah) kasih dan sayang (mawaddah warrahmah), tentu tidak datang dengan sendirinya, tanpa harus diupayakan dan diusahakan. Sedikitnya, ada delapan (8) hal yang menjadi kunci penting dalam mewujudkan perasaan ‘samara’ ini, Delapan hal itu ialah :

Pertama : Harus ada penetapan cinta dalam diri suami isteri. Cinta yang mekar diawal pernikahan hendaknya tetap bersemi dalam perjalanan selanjutnya. Jangan biarkan cinta brguguran. Jangan buang bahasa cinta dalam kamus pergaulan suami isteri. Sikap mesra dan romantis yang biasanya bertaburan pada awal pernikahan hendaknya dapat dipertahankan. Tidak ada istilah sudah tua untuk mengekspressikan rasa cinta dengan mengatakan, mencium, memeluk atau bersikap manis. Bukankah Rasulullah s.a.w. senantiasa menunjukkan rasa cintanya pada isteri dan anak-anaknya dengan mencium, memeluk, bermain-main, dan bersenda gurau. “Segala sesuatu yang di dalamnya tidak mengandung dzikrullah merupakan perbuatan sia-sia, kecuali empat (perkara), yaitu senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (Al Ahadits Ash Shahihah dalam Buku Adab Az Zifaf Al Albani hal 245).

Kedua : Harus dikembangkan rasa saling pengertian dan saling percaya. Sikap ini perlu dibangun sejak awal memutuskan untuk membina rumah tangga. Adanya penerimaan secara penuh terhadap kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak, menjadi nilai lebih bagi pasangannya. Jika sikap penerimaan ini telah dibangun, maka dengan sendirinya akan muncul rasa tenang dari kedua belah pihak. Suami merasa tenang dengan istrinya, karena sang istri tidak menuntut sesuatu diluar batas kemampuan suami. Sebaliknya, seorang istri juga merasa tenang terhadap suaminya, karena telah tumbuh kepercayaan dari sang suami.

Ketiga : Harus dikembangkan sistem kerja sama yang benar, harmonis dan seimbang, disertai keinginan untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

Keempat : Harus dipikirkan pola komunikasi yang sehat dan efektif, terlebih bila banyak kesibukan dan tanggung jawab lain diluar rumah tangga. Adalah tidak sehat bila isteri merasa tertekan dengan gaya bossy sang suami atau sebaliknya suami merasa isteri tidak mengindahkannya.

Kelima : Harus ada upaya untuk menyelesaikan problem-problem rumah tangga dengan sikap dewasa dan proporsional. Termasuk didalamnya masalah perasaan, anak, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya. Masalah sekecil apapun harus tuntas. Adalah kebiasaan yang salah, namun banyak terjadi, menganggap selesainya masalah dengan berlalunya waktu atau mendiamkannya.

Keenam : Adanya perhatian terhadap kesehatan hubungan seksual suami isteri. Adalah keliru bila menganggap masalah seksual sebagai hal tabu yang tak patut dibicarakan dan dipermasalahkan. Bukankah Allah s.w.t. memberikan hajat seksual ini sebagai kebutuhan fitrah yang tak mungkin ditinggalkan? Sikap realistis dan proporsional kembali diperlukan dalam menyelesaikan masalah ini.

Ketujuh : Adanya perhatian serius terhadap pendidikan anak. Suami memiliki kewajiban untuk mendidik istrinya dalam mengembangkan berbagai potensi kebaikan. Isyarat peran suami sebagai pendidik disampaikan dalam ayat: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS at-Tahrim: 6). Sedangkan istri dapat memposisikan diri sebagai mitra dan sebagai pembelajar dalam interaksinya dengan suami. Peran istri harus dapat mendukung perjuangan suami, berdialog, memberikan saran-saran dan memiliki sikap ingin tahu (curiousity) dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Peran mendidik untuk para istri tertuang pada ayat: “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Melihat”. (QS al-Ahzab: 34)

Kedelapan : Sedapat mungkin menghindari adanya intervensi pihak lain dalam urusan internal rumah tangga, baik dalam masalah ekonomi, pendidikan anak, ataupun masalah kebijakan rumah tangga. Ini dapat terjadi manakala kemandirian dan tidak menunjukkan sikap ketergantungan telah diterapkan sejak awal.

Demikian kurang lebih tulisan singkat terkait dengan bagaimana membentuk keluarga yang bahagia-sejahtera menurut ajaran Islam. Semoga dengan tulisan ini dapat memotivasi dan mengingatkan kita semua akan pentingnya perhatian terhadap bagunan sebuah keluarga.

Referensi :

- Mustafa, Adi J, 2005, Konsep MESRA dalam Membina Keluarga Islami, www.eramuslim.com

- http://www.geocities.com/kibar_uk/akhwat/usrah/rumahtanggaidaman.html


Tidak ada komentar: